Moderasi beragama, perdamaian, kemanusia sangat kental terasa dalam acara International Buddhist Conference Indonesia (IBCI) “Strengthening Buddhist-Muslim Relation in Southeast Asia”. Acara besar yang dilaksanakan di Royal Orchid Garden Hotel, kota Batu. Acara ini sejatinya akan berlangsung dari tanggal 4-7 November 2019. Acara yang dihadiri tokoh tokoh berpengaruh seperti mantan Menteri Agama KH Luqman Haqim Saifuddin, Bhikku Khemadaro, Bhikku Jayamedho, Prof. Dr. Imtiyaz Yusuf seorang cendekiawan Muslim namun sangat memahami ajaran Buddha karena beliau tinggal di Bangkok, Thailand dan mengajar di Mahidol University, serta tokoh-tokoh lain.
Dalam acara yang resmi dibuka Rabu, 5 November 2019 ini, tepat pukul 09.00 WIB acara ini dimulai, dan diikuti dengan sederatan acara pembukaan diantaranya oleh Wakil Walikota Batu Ir. H. Punjul Santoso, S.H., M.M., beliau menyampaikan bahwa Kota Batu disebut sebagai Swiss kecil, sejak mulai terbentuk pada tanggal 17 Oktober 2001 kini Kota Batu berusia 18 tahun dan sudah berpenduduk 220.000. jiwa hingga saat ini. Batu baru 10 tahun terakhir berkomitmen dan menyebut diri sebagi kota wisata. Kota Batu memiliki 21 etnis yang saling bersinergi. Maka, sudah benar apabila konferensi ini dilaksanakan di Kota batu.Acara selanjutnya diisi oleh penyampaian dari perwakilan tokoh Agama Budha dan dilanjutkan oleh Bapak Kaliadi dari kementrian Agama.
Pemaparan menarik juga disampaikan oleh KH. Luqman Hakim Saifuddin yang juga ditemani oleh istri beliau, Menteri Agama yang baru purna pada periode awal pemerintahan Presiden Jokowi dan Bapak Yusuf Kalla. KH. Luqman Hakim Saifuddin berkata, “Buddha dengan Islam harus saling bersinergi, karena agama hadir agar kehidupan manusia menjadi lebih baik. Agama yang datang dari Tuhan pasti sempurna dan berisi petunjuk agar nilai-nilai kemanusiaan kita terpelihara dengan baik, maka dari itu Tuhan menurunkan ajaran agama.”
Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa banyak persoalan yang muncul dengan berkembangnya jumlah manusia dan semakin sedikitnya sisa bumi yang ditempati manusia. Perkembangan manusia memiliki masalah yang semakin kompleks, selanjutnya menurut beliau persoalan-persoalan mengenai keagamaan dimulai dari perspektif manusia yang berbeda-beda dengan tingkat pengetahuan yang juga beragam. Ada yang melihat hanya dari sisi teks, ada juga dari sisi konteks. Ada yang moderat namun juga banyak yang ekstrim bahkan ada juga yang tercerabut dari konteks sendiri dengan mengusung liberalisme. Hal ini menyebabkan penafsiran agama yang heterogen. Maka, lanjut beliau diperlukan kearifan untuk melihat permasalahan ini, diperlukan kearifan untuk melihat kemajemukan, karena Tuhan menciptakan keragaman karena manusia memiliki keterbatasan.
Masih menurut KH. Luqman Hakim Saifuddin bahwa rujukan beragama minimal ada dua yakni kitab suci dan biografi kehidupan sang pembawa agama yang kalua dalam Agama Islam disebut Hadis dan sunnah nabi. Namun problematiknya adalah ketika manusia ketika manusia memelajari itu dari teks dan cara umat beragama menafsirkan teks akan berbeda, dengan wilayah yang semakin kecil tetapi manusia semakin kompleks. Hal ini sering menimbulkan tantangan besar bagi tokoh agama di mana kehidupan semakin kompleks, tantangan tokoh agama juga semakin kompleks, dan munculnya konflik sosial yang mengatasnamakan agama.
Sifat agama yang merangkul, membutuhkan kerelaan dari pemeluk agama untuk menghormati perbedaan dalam pengamalan agama. Kerendahhatian ini tetap berpegang teguh pada keyakinan agamanya, namun tidak boleh menyalahkan pihak lain yang tidak seagama dengannya. Agama bisa dilihat dari dua sisi, dilihat dari sisi luar akan menyebabkan keterbatasan pada kelembagaan beragama. Agama yang dilihat dari intinya adalah nilai kehidupan untuk meningkatan harkat kemanusiaan dan ini diajarkan di semua agama.
Dari diskusi yang menarik, di mana banyak tokoh tokoh yang bertanya. Ada dua rekomendasi yang sejatinya sudah perlu kita siapkan. Pertama, Moderasi Agama. Beragam dengan pendekatan budaya karena ajaran agama dibingkai dalam wadah yang bernama budaya atau tradisi untuk mengejewantahkan ajaran agama. Agama dan budaya saling berkaitan. Agama butuh wadah, budaya butuh nilai, dan nilai-nilai itu berasal dari agama. Kedua, Pendidikan. Pendidikan untuk menyampaikan nilai nilai yang ada di dalam agama.
Kehadiran seminar ini sangat penting dalam konteks keragaman di Indonesia. Salah satu yang paling menraik adalah adanya kesamaan atau titik temu antara Islam dan Buddha dalam hal ajaran titik “jalan tengah” atau moderat. Islam mengartikulasikan ajaran moderat melalui konsep wasathiyah; pemeluknya disebut ummatan wasathan; sedangkan Buddhisme memiliki konsep Majjhima Patipada, yang juga berarti jalan tengah dalam menjalani kehidupan, agar umat Buddha senantiasa menempuh jalan hidup menuju pembebasan, pencerahan, dan keselamatan.
Kementerian Agama setidaknya sudah empat tahun terkhir secara terus menerus menggaungkan visi moderat beragama. Konsep ini dimaksudkan sebagai upaya untuk membangun cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragam.
Penulis:
Muhammad Masykur Baiquni, M.Pd.
Email: mzizzybq@alqolam.ac.id
Dosen Institut Agama Islam Al Qolam Malang
Kepala Program Studi Tadris Bahasa Indonesia