Oleh: Muhammad Hilal
(Dosen dan Sekretaris Lembaga Penjaminan Mutu IAI Al-Qolam Malang)
Di laman web resmi IAI Al-Qolam Malang, terpampang visi barunya dengan posisi sangat mencolok: “PTKI Pengabdian Transformatif Berbasis Pesantren.” Tampilan muka web itu menunjukkan dengan jelas bahwa visi-misi Al-Qolam mengalami perubahan besar.
Jika sebelumnya kampus ini menyatakan visinya dalam kata kunci “kampus riset,” maka kini sudah berubah menjadi “kampus pengabdian transformatif.” Perubahan itu berlaku sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Rektor IAI Al-Qolam Malang No. A.01/IAI-Q/102.X/2020, tanggal 5 Oktober 2020 silam.
Apa perbedaan antara keduanya? Apa pula implikasi yang akan ditimbulkan oleh perubahan itu?
Pengabdian Transformatif: Kelanjutan Riset
Yang perlu diingat mengenai perubahan visi ini, IAI Al-Qolam Malang pada dasarnya sama sekali meninggalkan visi sebelumnya, melainkan mengembangkan dan melanjutkannya. Kelanjutan visi itu diringkas dalam frasa “pengabdian transformatif.”
Dalam rumusan visi baru ini dinyatakan bahwa pengabdian tidak bisa dipisahkan dari riset. Setiap upaya transformasi sosial tidak bisa dilakukan kecuali setelah dilakukan riset komprehensif atas kondisi riil masyarakat yang hendak diberdayakannya.
Itu di satu sisi. Di sisi lain, istilah riset sebagaimana tercantum dalam visi sebelumnya pada dasarnya mengandung muatan transformasi sosial semata, sebab riset yang dimaksud di situ bukanlah sekadar aktivitas memahami objeknya semata melainkan harus dilanjutkan dengan transformasi sosial atau pemanfaatan hasil riset untuk kemaslahatan publik. Artinya, luaran riset yang hendak dihasilkan diupayakan tidak berhenti pada tumpukan laporan riset di rak-rak arsip, tapi diupayakan agar berlanjut pada kegiatan transformasi sosial pula.
Dengan demikian, perubahan visi dari “kampus riset” ke “kampus pengabdian transformatif” sejatinya bukan perubahan total yang satu sama lain harus dibedakan sebagai suatu pertentangan. Kata kunci “riset” dan “transformasi sosial” adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Visi baru IAI Al-Qolam Malang ini hanya mengubah titik tekannya saja. Jika visi terdahulu menekankan pada sisi risetnya, maka visi terbaru ini menekankan pada sisi transformasi sosial dengan pengimbuhan kata ‘pengabdian’ di depannya.
Lalu, apakah itu berarti bahwa perubahan visi itu adalah tindakan yang muspro alias ‘tahsilul hasil’? Jika kita melihatnya hanya dari perubahan kata-katanya saja, maka iya. Itu adalah tindakan yang muspro. Namun jika jika kita melihatnya dari implikasinya, maka dengan segera akan kita lihat bahwa itu bukanlah tindakan muspro. Implikasi perubahan visi itu tidaklah main-main.
Implikasi Perubahan Visi
Perubahan visi IAI Al-Qolam Malang itu berimplikasi pada perubahan manajerial, perubahan kurikulum, dan perubahan kultur akademis.
Perubahan manajerial yang diimplikasikan oleh visi baru itu bermuara pada pengembangan kelembagaan kampus, yang rumusannya adalah perubahan status menjadi universitas, penguatan jaminan mutu dan kemandirian keuangan. Perubahan institut menjadi universitas tentu tidak hanya perubahan status belaka, namun diperlukan perubahan manajerial dan kinerja yang bau-baunya adalah universitas. Untuk menyebut salah satu contoh, dosen-dosen Al-Qolam yang sementara ini didominasi oleh lulusan magister perlu ditingkatkan menjadi dominan lulusan doktoral. Nah, satu contoh itu saja merupakan implikasi yang tidak ringan dari perubahan visi itu.
Perubahan kurikulum yang diimplikasikan oleh vjsi baru itu akan bermuara pada penguatan tradisi riset dan pengabdian, perubahan kurikulum, serta kegiatan kemahasiswaan. Kurikulum baru yang sedang disusun oleh Al-Qolam memberi peran lebih besar kepada LP3M (Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat). Jika sebelumnya LP3M hanya menangani KKN dan publikasi ilmiah semata, maka di beberapa periode mendatang lembaga itu akan dibebani untuk menangani beberapa mata kuliah pembentukan kepribadian mahasiswa (mata kuliah muatan lokal). Perubahan kurikulum ini bersinergi dengan semangat Kampus Merdeka yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim.
Perubahan ketiga yang diimplikasikan oleh visi baru itu, yakni perubahan kultur akademis, bermuara pada kultur publikasi ilmiah para awak kampus. Selama ini, para awak kampus hanya berpuas diri pada publikasi ilmiah yang sifatnya lokal semata. Dengan perubahan visi baru itu, para awak kampus akan didorong untuk mengubah kultur tersebut dan melakukan publikasi ilmiah pada taraf nasional dan internasional. Ini tentu butuh waktu dan energi lebih besar, namun perubahan itu tidak bisa dielakkan sebab visi baru sudah menuntutnya demikian.
Implikasi-implikasi yang disebutkan di atas kemudian dinamai “tiga pilar pengembangan” kampus. Pengembangan-pengembangan itu diarahkan pada upaya pembangunan reputasi kampus di level internasional. Namun, meskipun ujungnya adalah reputasi internasional, namun visi baru ini menyatakan satu kata kunci lagi yang sebetulnya masih berpijak pada lokalitas, yaitu “berbasis pesantren.”
“Berbasis Pesantren”: Sebuah Identitas
Jika harus disebutkan satu hal yang tidak berubah dari visi terdahulu dan visi terbaru IAI Al-Qolam Malang, maka itu adalah frasa “berbasis pesantren.” Frasa ini menyatakan identitas yang hendak dipertahankan oleh kampus ini meskipun perkembangan apapun yang sudah dialaminya. Identitas kepesantrenan ini dianggapnya sebagai raison d’etre-nya.
Kata ‘pesantren’, baik dalam visi lama maupun visi baru IAI Al-Qolam Malang, dipahami bukan sekadar lembaga semata, melainkan sebagai sebuah ‘tradisi’ yang memuat pola pikir dan sistem nilai, dan pola gerakan. Secara kelembagaan, sebuah kampus tentu tidak bisa disamakan dengan pesantren, namun keduanya masih bisa dicarikan titik temu secara pola pikir, sistem nilai dan pola gerakan.
Sebagian orang beranggapan bahwa identitas kepesantrenan itu berarti IAI Al-Qolam Malang harus persis sama dengan pesantren-pesantren, baik dalam tampilan luar ataupun dalam pola-pola relasi sosialnya. Menurut saya, anggapan dan tuntutan semacam itu adalah tidak tepat, baik secara teoretis maupun praktis. Kedua lembaga itu, kampus dan pesantren adalah dua lembaga yang berbeda dan tidak bisa diidentikkan, sebab tuntutan dan tantangan yang dihadapi oleh keduanya tidak serupa.
Dengan kata lain, berbasis pesantren tidak berarti bahwa IAI Al-Qolam Malang adalah sebuah pesantren. Agar identitas kepesantrenan itu bisa melekat dalam IAI Al-Qolam Malang, maka makna pesantren itu sendiri harus diambil inti sarinya, diperas hingga ke esensinya, sehingga saat dijadikan sebuah identitas suatu kampus, tampilan dan kemasannya tidak lagi serupa.
Itulah yang dimaksud pesantren sebagai sebuah ‘tradisi’. Bukan kemasannya, melainkan inti sarinya.[]